Seri Filsafat 1

Hermeneutika Dialektis Gadamer
oleh: Fr. Srihandriatmo Malau, O.Carm.

“… seorang hermeneutis harus lari dari cengkeraman metode untuk kemudian menceburkan diri di tengah pusaran dialektika. Penggunaan metode justru merintangi kebenaran; sedangkan dialektika tiada henti mengumpulkan serpihan kebenaran itu hingga akhirnya menjadi “bulat dan utuh.”

Struktur Pengalaman dan Pengalaman Hermeneutis

Penyelidikan yang dilakukan Gadamer ini dimulai dengan perlawanan di dalam ilmu pengetahuan terhadap klaim universal metode ilamiah. Penyelidikan ini mempunyai perhatian untuk mencari pengalaman kebenaran yang melampaui ruang kontrol metode ilmu pengetahuan. Gadamer dalam teorinya lebih mengarah kepada konsep pengalaman historis dan dialektis. Menurutnya, pengalaman yang ada itu sendiri memiliki hubungan (pengebungan) dialektis. Hal ini bukan dalam konsep pengetahuan, tetapi dalam keterbukaan pengalaman yang lahir dari ruang bebas pengalaman. Misalnya, seseorang yang seluruh hidupnya terkait erat dengan kehidupan bermasyarakat; dengan latar-belakang pengalaman seperti itu, kita dapat mengetahui bahwa orang itu memilki pemahaman yang lebih mengenai masyarakat, melalui apa yang kita sebut sebagai pengalaman akan masyarakat atau pengalaman bermasyarakat. Dan juga pengalaman memiliki kekuatan hakiki bagi historisitas manusia. contohnya, pengalaman mengecewakan. Pengalaman tersebut membuat kita sakit, menderita. Inilah yang disebut dengan pengalaman adalah pengalaman keterbatasan. Hal inilah yang kita temukan dalam fakta tersebut. Pengalaman kekecewaan tersebut membuat kita menjadi sadar bahwa kita ini adalah mahluk yang serba terbatas, tidak sempurna seperti apa yang kita harapkan. Dan dengan pengalaman itu kita menjadi sadar akan batas-batas eksistensi kita sebagai manusia. dengan semua pengalaman itu kita belajar memahami keterbatasan diri kita sendiri.

Kedua contoh di atas merupakan “pengalaman nyata”, yang bagi Gadamer merupakan pengalaman historisitas manusia. pengalaman itu sampai kepada kita dalam rupa warisan (tradisi) melalui media bahasa. Bahasa menerut Gadamer adalah “ada” itu sendiri: sebuah realitas yang merentang panjang ke masa silam yang paling sayup menusuk-nusuk jauh ke masa depan yang masih samar. Maka dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan sederet realitas, yang memiliki kekuatan generatif dan kreatif yang tanpa hentinya membuat semuanya mengalir dan sampai kepada kita. Dan pada akhirnya peristiwa bahasa itu dibekukan menjadi teks.

Menurut Gadamer, teks tidak lagi terikat pada waktu. Teks menjadi terbuka bagi siapa saja. Ia tidak lagi hanya tertuju pada sesuatu tertentu. Teks harus dibiarkan terbuka dan dibiarkan berbicara sendiri. Di sisi lain pembaca juga harus terbuka pada teks (seperti hubungan ‘thou’/ aku dan engkau). Dengan struktur seperti ini kita dapat melihat adanya hubungan dialektika antara pembaca dengan teks, di mana di dalamnya terdapat hubungan yang saling terkait satu sama lain. Demikian pula rumusan Gadamer, yang membayangkan interaksi pembaca dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal (pertanyaan) – jawab, di mana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu, hingga terjadi kesepakatan dan kesepahaman
Struktur dialektis pengalaman secara umum dan pengalaman hermeneutika khususnya, merefleksikan dirinya dalam struktur pertanyaan – jawaban dari semua kenyataan dialog (dialektika). Namun perlu diwaspadai bahaya dialektis dalam bentuk orang pe orang (personal), ketimbang bentuk persoalan subyek. Untuk lebih jelasnya, kita dapat melihat pada bagian struktur bertanya.

Struktur Bertanya Dalam Hermeneutika

Gadamer sejauh ini mengatakan bahwa dalam seluruh pengalaman, struktur bertanya diandaikan. Sambungnya, keterbukaan pengalaman memiliki struktur bertanya: “Apakah itu benar demikian atau seperti ini?” Dari sini diketahui bahwa dengan mengajukan pertanyaan berarti kita menempatkannya dalam keterbukaan, di mana jawabannya belum ada (diketahui). Dan sekaligus tindakan bertanya mau mengatakan adanya keter-arah-an tertentu (pertanyaan mengarahkan jawaban).
Ada satu prinsip tentang bertanya, yaitu orang bertanya tentang sesuatu hal, karena ia sesungguhnya belum mengetahui hal tersebut. Dan ketika seseorang tidak mengetahui , maka diperlukan suatu cara, agar ia dapat memahami hal tersebut menurut cara bagaimana ia dapat memahami hal tersebut dengan lebih baik. Dari situ diketahui bahwa tindakan bertanya itu mengandaikan adanya keterbukaan – yaitu jawaban-jawabannya belum diketahui. Dan dengan keterbukaan, tindakan bertanya tidak bersifat absolut, karena dengan bertanya jawaban telah diarahkan oleh pertanyaan.

Fenomena ini memunculkan suatu masalah untuk menentukan dan menemukan pertanyaan mana yang benar. Menurut Gadamer mengenai hal ini bahwa hanya ada satu cara untuk menemukan dan mendapatkan pertanyaan yang benar dan itu diperoleh melalui peleburan antara horizon teks dan pembaca. Dan dengan ini didapat pemahaman yang seluas-luasnya. Di sini kita menemukan adanya dialetika (dialog). Suatu dialog yang sebenarnya berlainan makna dengan argumen. Karena suatu argumen berharap dapat membuka jawaban atas pertanyaan. “Sebuah dialog tidak mencoba untuk ber-argumentasi dengan orang lain, melainkan sebuah usaha untuk menguji pendapatnya akan hal itu, dalam terang tema pembicaraan itu sendiri.

Dalam dialog hermeneutika, pembaca meleburkan dirinya ke dalam teks. Dan bagaimanapun juga, seperti tradisi yang ada dalam dunia hermeneutis, patner dari penafsir (pembaca, manusia) adalah teks. Dengan demikan dibutuhkan sutau cara dalam berdialog give – and – take. Formulasinya (bentuk, perumusan) adalah teks mempertanyakan penafsir dan penafsir mempertanyakan teks tersebut.tugas. Inilah tugas hermeneutika membawa ke luar dari “alienasi”, di mana teks mendapatkan dirinya (sebagai bentuk tulisan) kembali kepada suasana kekinian dialog yang hidup, yang pemenuhan primordialnya adalah dengan pertanyaan dan jawaban.

Memahami teks berarti memahami pertanyaan. Dan dalam menafsir hal yang penting diperlukan adalah memahami horizon makna atau pertanyaan, di mana petunjuk makna teks dideterminasi (ditentukan). Walaupun demikian teks itu sendiri adalah suatu pertanyaan.
Dalam penafsiran hermeneutika, hal yang sangat menentukan ialah mencari makna yang ada di balik, apa yang eksplisit dikatakan melalui teks. Dan untuk memahami teks dibutuhkan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya terdapat pada makna yang ada di balik teks maupun apa yang secara gamblang dikatakan teks itu sendiri. Dengan kata lain pertanyaan-pertanyaan itu memiliki jawabannya pada teks itu sendiri. Dialektika pertanyaan dan jawaban tersebut melahirkan peleburan horizon. Di saat terjadi perjumpaan dengan horizon teks dalam realitas menerangi horizon seseorang, dan yang melahirkan penyingkapan diri serta pemahaman diri; maka perjumpaan itu menjadi suatu momen bagi penyingkapan ontologis.

Maka Penyingkapan dengan kata lain menjadi sebentuk ragam peristiwa yang strukturnya adalah struktur pengalaman dan struktur pertanyaan serta jawaban. Ini merupakan persoalan dialetika. Dan hal ini hanya mungkin terjadi melalui media bahasa.

Hakekat Bahasa
Karakter Non-instrumental Bahasa

Bagi Gadamer hal yang mendasar dalam konsep bahasa adalah penolakan terhadap teori tanda. Dengan kata sebagai tanda, itu berarti terjadi perampasan kekuatan primordial kata. Dan dengan demikian kita menjadikan kata sebagai instrumen (penanda). Hal yang mau dikatakan Gadamer adalah “bila kata itu tanda , maka tidak ditemukan adanya hubungan ‘organis demonstratif ‘ antara kata dengan apa yang ditandai. Kata hanya menjadi sebuah tanda saja.” Dapat dikatakan bahasa menjadi hilang dalam fungsi penandaan. Maka bahasa tidak mempunyai arti lagi dalam dirinya sendiri (sebagai bahasa). Ia hanyalah sebuah tanda. Dan akhirnya bahasa tinggal sebagai instrumen subjektivitas, yang sepenuhnya terpisah dari cara ber-ada sesuatu yang dipikirkan.

Jika bahasa bukan sebagai tanda ataupun suatu bentuk simbolik yang diciptakan manusia, maka bahasa itu sebagai apa ? Pertama-tama kata bukanlah sesuatu yang menjadi milik manusia, melainkan sebagai situasi. Contohnya, “pohon itu hijau”. Hal yang penting di sini bukanlah faktanya. “Pohon itu hijau” mau menyatakan situasi pohon tersebut yaitu berwarna hijau.

Formasi kata-kata bukanlah produk dari refleksi, tetapi merupakan produk dari pengalaman. Ia bukanlah suatu ekspresi jiwa dan pikiran, melainkan ekspresi dari situasi dan keberadaan. Yang penting mengenai hal ini adalah kata, yang bukan merupakan refleksi, namun merupakan hal yang diekspresikan dalam kata.

Oleh karenanya bahasa tidak dapat dipisahkan dari pemikiran. Kesatuan bahasa dan pemikiran adalah non-refleksivitas formasi kata. Dan keduanya menyangkal pandangan bahwa bahasa adalah sebuah tanda. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa adalah mediasi, bukannnya sebuah alat.

Bahasa dan Pengungkapan Dunia

Bahasa mengungkap dunia. Pengertian dunia di sini bukan berarti dunia (alam) saintifik yang ada di sekeliling kita, melainkan dunia hidup kita. Dunia tidak sama dengan lingkungan. Dan hanya manusialah yang memeliki dunia.

Untuk memiliki dunia, seseorang harus mempertahankan dan terbuka kepada aneka ruang yang ada di hadapannya, di mana dunia itu sendiri membuka diri kapada orang tersebut dengan apa adanya. Untuk itulah manusia menggunakan mediasi bahasa untuk memiliki dunia. Dunia dan bahasa merupakan persoalan interpersonal. Dunia lebih tepat dilihat sebagai antara pribadi yang satu dengan pribadi yang lain. Dunia dapat dikatakan sebagai pemahaman bersama antara beberapa orang -- mediasi pemahaman dan yang menjadikannya mungkin adalah bahasa. Bahasa adalah sebuah bidang interaksi. Dengan demikian apa yang dipahami melalui bahasa bukanlah suatu pengalaman yang sebahagian (partikular), melainkan dunia. Inilah kekuatan bahasa yang menciptakan dunia yang paling beragam, yang telah diekspresikan dalam bahasa. Oleh karena itu kekuatan pengungkapan bahkan suatu teks, yang singkat sekali pun secara relatif dapat membuka dunia yang berbeda dari dunia yang kita miliki.

Linguistikalitas dan Pengalaman Hermeneutis

Pengalaman hermeneutis adalah perjumpaan antara warisan budaya (tradisi) dalam bentuk sebuah transmisi teks dan horizon penafsir. Sedangkan linguistikalitas berfungsi menyediakan dasar bersama antara teks dan penafsir. Dan bahasa itu sendiri dilindungi dan ditransmisikan. Pengalaman tidak lagi menjadi sesuatu yang hadir mendahului bahasa, melainkan pengalaman itu terjadi di dalam dan melalui bahasa. Itu dapat terjadi hanya jika ada suatu tindakan mendengar.

Metode yang tepat dalam hermeneutika yang melibatkan penafsir dan teks adalah sikap terbuka untuk diarahkan oleh tradisi. Ini dilakukan dengan mencoba untuk melepaskan diri dari pengandaian yang ada dalam diri dan lebih melihatnya dengan hati terbuka. Dan pertemuan merupakan suatu peristiwa di mana dunia membuka dirinya pada kita. Dalam peristiwa ini, sesuatu yang didasarkan pada linguistikalitas dan yang menjadi niscaya karena pertemuan dialektis dengan makna teks yang ditransmisikan, menjadikan pengalaman hermeneutis mencapai pemenuhannya.

Struktur Spekulatif Bahasa Dan Hakikat Bahasa

Bahasa selalu dalam proses sebagai peristiwa penyingkapan, yang terus bergerak, berubah, dan akhirnya mencapai suatu pemahaman. Sebenarnya tindakan mengatakan (bahasa) yang terjadi dalam hidup keseharian memiliki perbedaan pemahaman antara masyarakat yang satu dengan yang lain dan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Ini dimungkinkan karena adanya sesuatu yang tidak dikatakan mengiringi apa yang dikatakan. Ketika kita mengatakan sesuatu hal, maka secara sekaligus kedua hal itu (apa yang dikatakan dan tidak dikatakan) telah membentuk satu kesatuan. Adalah puisi yang menampakkan secara jelas ciri ini. Dalam ungkapan puisi, kita dapat melihat setiap apa yang dikatakan, sebenarnya ditata oleh makna-makna yang lebih dalam. Kata–kata puisi bersifat spekulatif tidak hanya dalam makna. Ini bertujuan agar apa yang dikatakan secara eksplisit juga akan menyatakan yang implisit. Maka dapat dikatakan bahwa apa yang terdapat dalam ungkapan puisi adalah struktur bahasa spekulatif.

Lalu bagaimana menginterpretasikan puisi ? Pertama kita harus menyadari bahwa kata-kata puisi memiliki kualitas yang sama dengan tindakan mengatakan sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari -- antara orang-orang yang saling memahami sesama mereka. Kemudian untuk menginterpretasi puisi kita perlu menyadari bahwa keseluruhan interpretasi ada dalam kebenaran spekulatif. Interpretasi teks bukanlah keterbukaan pasif, melainkan merupakan suatu kreasi baru, sebuah peristiwa buru dalam pemahaman.

Universalitas Hermeneutika

Dalam perkembangan bila kita memahami secara lebih mendalam, spekulatifitas tidak hanya kunci memahami hermeneutika Gadamer, tapi juga merupakan landasan dari klaim universalitasnya. Spekulatifitas terletak pada hakikat yang sebenarnya dan pada hakikat seluruh keberadaan, yang dijumpainya. Setiap sesuatu sejauh ia mencoba untuk dipahami, menilai dirinya dari dirinya sendiri, hal yang dikatakan dari yang tidak dikatakan; hal yang kemudian dari penghadirian diri saat ini dan yang kemudian menjadi dipahami merupakan hal yang universal. Inilah spekulatifitas yang dilihat sebagai sebuah karakter universal keberadaan itu sendiri. Konsep keberadaan spekulatif yang pada dasarnya terletak dalam hermeneutika merupakan arah universal yang sama sebagai nalar dan bahasa.

Kesimpulan

Dalam karya “Wahrheit und Methode”, Gadamer membawa hermeneutika bahasa menjadi suatu pembahasan baru, yang mengesampingkan perbedaan antara hal-hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu humaniora dan pengetahuan. Hal ini dikarenakan Gadamer tidak lagi melihat hermeneutika sebagai sesuatu yang kaku, yang hanya berurusan dengan teks dan juga ilmu kemanusiaan. Pemahaman baginya selalu merupakan sebuah peristiwa historis, dialetika, dan linguistik.

Bagi Gadamer kunci untuk memahami bukanlah memanipulasi (menguasai), melainkan merupakan sebuah pertisipasi dan adanya keterbukaan, yang bukan berkaitan dengan pengetahuan, melainkan pengalaman; bukannya metodologi, melainkan dialetika. Dan menurutnya tujuan hermeneutika bukanlah meletakka suatu aturan bagi pemahaman yang bersifat objektif, melainkan untuk mendapatkan pemahaman itu sendiri seluas-luas mungkin. Gadamer mempunyai konsep dialektis dan membicarakan karakter pengalaman dialektis sebagai dasar bagi hemeneutiknya, yang memungkinan hal itu sebgai suatu aksi personal dan bukan suatu peristiwa yang terjadi. Dengan kata lain, karya Gadamer tersebut mengungkap horizon pemikiran baru yang utuh dalam teori hermeneutika, yang tentunya dapat dikatakan sebagai bentang permulaan dari suatu babakan baru dalam pemikiran modern mengenai interpretasi. Gadamer dengan teorinya ini mengembangkan ontologi pemahaman ke dalam hermeneutika dialektis.
Cogito, Ergo Sum:
Meningkatan Harkat dan Martabat Manusia Indonesia dalam Terang Pandangan Rene Descartes
oleh: Fr. Srihandriatmo Malau, O.Carm

Dalam beberapa tahun terakhir ini banyak ditemukan di Indonesia realitas ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi karena pejabat dan birokrat “pandai”, kekerasan dan diskrimniasi, kecurangan, ketertutupan (ketidakpercayaan publik), korupsi sistematik, dan bencana Lumpur panas di Porong – Jawa Timur. Dan masih banyak lagi realitas yang sering menjadi pemandangan yang hanya membuat manusia menerima keadaan dan realitas yang ada tanpa berani dengan kesadarannya bertanya tentang hal yang sedang terjadi, dialami, mencari kebenaran.
Sebagian manusia Indonesia cenderung untuk tidak menggunakan akal budi (ratio) kecerdasannya sebagai homo intellectus. Kecenderungan manusia Indonesia adalah berpasrah dan puas pada apa yang dialami (terjadi), percaya pada kesaksian, “pemikiran cemerlang” para ahli, dan pandangan umum (dapat keliru, menyesatkan). Manusia Indonesia belum menjadi subjek yang berpikir tentang realitas yang ada di sekitarnya. Itu berarti harkat dan martabat manusia Indonesia (bangsa Indonesia) patut dipertanyakan keberadaannya.
Karya tulis ini mencoba untuk memberikan pencerahan kepada manusia Indonesia bahwa manusia pada kodratnya adalah subyek yang berpikir. Melalui tulisan ini penulis ingin mengkritisi hal yang terjadi di Indonesi dengan memberikan pemikiran yang benar; meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam terang pandangan bapak filsafat Modern, Rene Descartes.

Pemikiran Rene Descartes
Rene Descartes (latin: Cartesius), filosof, ilmuan, matematikus Prancis yang tersohor ini dilahirkan di La Haye di Prancis, tahun 1596. Dalam sejarah Filsafat, namanya dicatat sebagai bapak filsafat modern. Tesis terkenalnya adalah “cogito ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada), yang ditulisnya dalam karya “Discourse de la Methode” dan ”meditatio” bahwa segala sesuatu masih dapat diperdebatkan. Ia mengatakan bahwa segala sesuatu harus diragukan dan disangsikan (dari pikiran) untuk melangkah dan menetapkan kebenaran, tidak kepastian kecuali ilmu pasti. Ia mengkritisi metode berpikir tradisional; kebaruan metode dalam berfilsafat yang diusungnya adalah metode kesangsian.
Titik tolak pencarian kebenaran filsafat Descartes adalah ketidakpuasannya dengan refleksi filosofis para pendahulunya. Ia beranjak dari pertanyaan apakah ada metode dan pengetahuan yang pasti, yang tidak dapat disangsikan lagi kepastian dan kebenarannya. Pernyataan ini muncul ketika ia melihat bahwa para pendahulunya tidak memberikan satu metode yang dapat menjamin kepastian penemuan pengetahuan yang benar. Pada jamannya refleksi filosofis dilakukan para pendahulunya dengan kurang sistematis; tidak ada metode yang jelas. Hal ini membuatnya berusaha untuk menemukan metode refleksi filosofis yang baik dan tepat; ia menawarkan metode kesangsian.
Ia berpendapat bahwa pertama-tama harus menyangsikan segala-galanya. Metode refleksi semacam ini disebut sebagai metode keraguan (keraguan sistematik), biasa dikenal dengan istilah “kesangsian metodis”. Dalam metode ini Descartes menekankan pentingnya keraguan dalam menyingkap suatu kebenaran. (keraguan terhadap pengetahuan yang diterima dari indra, keraguan pada seluruh pengetahuan yang dimiliki seseorang, keraguan pada kebenaran yang selama ini sudah dianggap pasti, adanya tubuh saya dan adanya Tuhan). Menurut pendapatnya, ketika kita meragukan segala sesuatu, ada satu hal yang tak dapat dibantah dan diragukan lagi kepastiannya dan mutlak yaitu saya yang berpikir (subyek yang sedang berpikir).
Prinsip ini dikenal dengan proposisi “cogito ergo sum” (saya berpikir (menyadari), maka saya ada). Keraguan adalah suatu kebenaran, kepastian dari suatu kesangsian. Dengan tesis ini Descartes menjelaskan kesadaran dengan pandangan rasionalistik; hasil dari kegiatan (fungsi) berpikir. Kebenaran “aku yang meragukan” merupakan suatu kepastian, karena aku mengerti hal itu dengan jelas (clara) dan terpilah-pilah (distincta). Hanya yang dimengerti dengan jelas dan terpilah-pilah yang harus diterima sebagai benar. Descartes mengajukan 4 dalil mengenai hal itu:
1. Jangan menerima sesuatu sebagai benar jika tidak diketahui secara jelas (clara) itu pasti benar. Rasiolah yang menjadi dasar penerimaan yang benar.
2. Pilah-pilahlah persoalan menjadi bagian-bagian yang kecil, sehingga setiap bagian dapat dipuaskan secara memuaskan.
3. Pertama-tama pecahkanlah hal persoalan yang paling mudah, dan kemudian dilanjutkan pada persolan yang lebih sukar.
4. Setelah semua persoalan ditemukan jalan keluarnya (pemecahannya), kumpulkan semua unsure sehingga tidak ada hal-hal yang dilangkahi, tercecer.
Melalui tesis yang ditemukannya, Descartes mau mengatakan bahwa kebenaran itu ditemukan seseorang di dalam dirinya sendiri (dengan menggunakan titik tolak yang jelas dan terpilah-pilah).
Dengan demikian Descartes ingin mengatakan bahwa rasio adalah elemen utama dari kesadaran (cogito), yang memiliki fungsi untuk membenarkan suatu pengetahuan. Intinya rasio menjadi pusat pikiran dan kegiatan berpikir. Selain itu dia juga mengatakan bahwa Subyek yang sedang meragukan sesuatu (berpikir) secagai pusat. Manusia menjadi titik tolak bukan obyek yang diamati, dipikrkan. Pengetahuan akal budi manusia tidak lagi pengetahuan objektif, tetapi pengetahuan intuitif atau subyaktif. Bagi Descartes, pengetahuan manusia itu berawal dari kesadaran akan keberadaan dirinya sendiri (eksistensi). Melalui “cogito ergo sum”, Descartes ingin menegaskan bahwa pengembaraan akal budi manusia menemukan pusatnya pada rasionalitas manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

siapa yg tertua antara Lubis dgn Pasaribu?/

Malau Raja atau Silau Raja???

Siapa itu Naimarata???