Jatim Dalam Momentum Keberpihakan Kepada Orang Miskin

Jatim Dalam Momentum Keberpihakan Kepada Orang Miskin*

Masyarakat dunia hendaknya melipat gandakan upaya untuk mengatasi sebab-sebab dari kemiskinan maupun megatasi konsekuensi yang tragis dari kemiskinan. (Pidato Paus Benediktus XVI menyambut Hari Pengentasan Kemiskinan Sedunia, 17 Oktopber 2007)
Kalau ada kata yang mampu merumuskan masalah serius yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, maka kata itu adalah “kemiskinan”. Lihat saja hingga Maret 2007, angka kemiskinan di Jawa Timur berada pada angka 7.138 juta jiwa atau sekitar 18,93 persen dari jumlah penduduk (BPS Jatim).
Kalau kita mau melihat laju jumlah penduduk miskin di Jatim, maka kita akan menemukan bahwa penurunan angka kemiskinan belum tampak signifikan. Pada Maret 2006 jumlah rakyat miskin mencapai 7.456 juta jiwa (19,94 persen). Angka ini relatif belum banyak berubah.
Belum lagi bila kita mempersoalkan validitas angka kemisikinan tersebut. Tidak tertutup kemungkinan jumlah penduduk miskin di Indonesia jauh lebih besar dari jumlah yang dicatat BPS atau Depsos.
Pada hal, Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan kepada pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat itu dijelaskan dengan lebih rinci lagi dalam UUD 1945 bahwa Negara berkewajiban untuk memenuhi hak dasar warganya, memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar serta membangun sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Semua hal itu digariskan dengan jelas dalam Psl. 27 ayat 2, Psl. 28, Psl. 31 ayat 1, Psl. 34 UUD 1945. Ditambah lagi janji yang diutarakan Presiden dan wakil presiden RI SBY-JK untuk membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera, dengan 3 strategi yang dipondasikan pada agenda pro-rakyat (pro job dan pro poor). Dan program pemerintah daerah Jawa Timur sendiri.
Dari data survei sosial-ekonomi nasional Badan Pusat Statistik Jatim, masyarakat miskin di Jatim tersebar di masyarakat desa yang tinggal di pesisir pantai Sumenep, Malang, Lumajang, Jember, Pasuruan dan Sampang.
Ironisnya, semua yang indah tersebut belum juga dapat membawa bangsa ini keluar dari kubangan kemiskinan. Mengapa jumlah penduduk miskin di Jatim masih relatif sangat tinggi? Bukankah kemiskinan mestinya lenyap dari tanah air yang sangat kaya akan sumber daya alamnya dan idealnya sebuah amanah rakyat serta aneka program pengentasan kemiskinan?
Perspektif Persoalan
Bagi pemerintah, masalah kemiskinan telah terdapat dalam agenda dan program kerjanya. Sejumlah rencana dan kebijakan yang bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja pun telah diadakan. Namun kemajuan dan capaian seperti yang diharapkan belum juga terasa. Persoalan kemiskinan pun belum dapat diatasi.
Secara garis besar bila dilihat semua program yang dijalankan pemerintah untuk menurunkan jumlah penduduk miskin, kita dapat menemukan 2 hal yang menjadi titik persoalannya.
Pertama, seluruh agenda yang dijalankan pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan ditaruh dalam bingkai “proyek”. Itu artinya pemerintah meletakkan masalah kemiskinan dalam lingkup bisnis. Dan lingkup kerja bisnis adalah pencarian kentungan semata-mata.
Tidaklah salah bila dalam penanganan masalah kemiskinan kita menjumpai 1001 praktik monopoli dan kolusi. Konsekuensinya, kesejahteraan masyarakat luas tidak lagi menjadi prioritas. Alhasil, masyarakat semakin terpuruk dalam lingkaran kemiskinan.
Persoalan kedua yang kita temukan sebagai titik ketidak berhasilan bangsa ini mengatasi masalah kemiskinan adalah adanya monopoli yang sistematis dan terstruktur antara pemerintah dan para kapitalis. Beberapa contoh dapat dilihat, di antaranya penggusuran tanpa solusi yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah terhadap pasar tradisional tempat pusat-pusat ekonomi PKL dengan alasan pertimbangan kesembrautan pasar dan demi menciptakan mal-mal gede yang lebih rapi, efisien dan mendapatkan pajak.
Langkah lain yang diambil pemerintah adalah penggusuran tempat-tempat penduduk tanpa ganti rugi yang sesuai demi alasan pengambilan besar-besaran sumber daya tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan dan yang pasti demi kepentingan pengelola industri. Ini sangat tampak dalam kasus lumpur panas Lapindo di Sidoarjo.
Dan kebijakan yang benar-benar tidak mendukung rakyat miskin adalah aneka program pendidikan. Mulai dari kurikulum yang terus-menerus berubah sampai pada program Diknas untuk menambah mata uji UAN dan menaikkan nilai kelulusan. Semua ini diambil demi menaikkan mutu pendidikan di Indonesia. Tapi apakah kebijakan ini tidak malah membuat makin banyaknya jumlah anak putus sekolah, pengganguran dan rakyat yang miskin? Dan yang jelas bukankah ini semua demi kepentingan industry pendidikan, seperti penerbit buku, dan perusahaan lain yang berkepentingan meraup untung di dunia pendidikan?
“Orang miskin semakin melarat, orang kaya (baca: kapitalis dan pemerintah) semakin menjadi kaya dan berpengaruh”. Benarlah pandangan ini dalam realitas yang terjadi di Indonesia. Kesejahteraan masyarakat luas tidak lagi menjadi prioritas utama. Dan kondisi semacam ini membuat rakyat tidak berdaya, sehingga kemiskinan tetap saja dialami masyarakat kecil.
Sebuah Ajakan
Apabila menengok realitas ini, timbul pertanyaan besar apakah mungkin kemiskinan di Jatim dapat diatasi? Dan tanpa menafikan kenyataan tersebut masih relevankah masyarakat berharap bahwa kebijakan pemerintah dapat mengangkat harkat hidup penduduk miskin ?
Tentu saja ini bukanlah pertanyaan yang gampang dijawab. Meski demikian harus disadari bahwa realitas kemiskinan di wilayah Jatim sungguh menjadi masalah yang serius dan amat mendesak setiap kita untuk bertindak. Dibutuhkan penanganan serius yang tidak melihat ini sebagai proyek untuk digarap dan dicari untungnya saja. Dan tidak boleh terjadi monopoli dan persekongkolan pemerintah dan para kapitalis untuk meraup keuntungan dan kepentingan mereka belaka.
Oleh karenanya tahun 2008 boleh menjadi tahun untuk berharap bagi puluhan ribu masyarakat Jatim bahwa masalah kemisikinan dapat teratasi dan semakin banyak rakyat lepas dari belenggu kemiskinan. Ini hanya mungkin terjadi jika setiap elemen masyarakat menjadikannya sebagai momentum keberpihakan dan pelayanan kita terhadap mereka yang miskin dan dianggap sampah masyarakat. Seperti yang diungkapakan Jean-Jacques Rousseau bahwa “tak ada yang begitu amat mengena di hati selain rasa manis yang muncul dari isak tangis bersama”. Akhirnya, dalam optimisme menghadapi tahun yang baru, mari bangkit dan bergerak.

*Tulisan ini Dimuat di Harian Surabaya Post Januari 2008

SRIHANDRIATMO
Mahasiswa Filsafat STFT Widya Sasana Malang
clemensmalau@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

siapa yg tertua antara Lubis dgn Pasaribu?/

Malau Raja atau Silau Raja???

Siapa itu Naimarata???