Seri orang kudus 1

Beato Francesco Spoto (1924-1964)

Pengorbanan Seorang Pemimpin

Francesco Spoto lahir di kota kecil Raffadali, Agrigento di Sicilia, Italia tanggal 8 Juli 1924. Panggilan hidup membiara tumbuh berkembang ketika pastor Vitale Bruno dari Congregation of Missionary Servants of Poor, yang mengadakan aksi panggilan di kota kediamannya.

Ia masuk seminari saat berusia 12 tahun. Ikrar perdana kebiaraannya diucapkan tanggal 1 November 1940. Dan ia ditahbiskan sebagai seorang imam tanggal 22 Juli 1951. Kemudian, dalam usianya yang masih relatif muda (35), ia dipilih menjadi superior jenderal – tepatnya pada tahun 1959.

Sebagai pemimpin Spoto dikenal dalam keteladan hidupnya, dan sebagai pemimpin ia mampu menjadi seorang bapak dan seorang saudara bagi semua anggota tarekatnya. Saat itu juga ia menekankan kepada setiap anggotanya untuk memiliki hidup doa yang kuat. Baginya, doa adalah oase yang menjiwai para misionaris dalam mewartakan kerajaan Allah.

Misi di Kongo

Pada 4 Agustus 1964 Spoto berangkat ke tanah misi di Biringi, Republik Kongo untuk membantu karya misi 3 saudara yang sudah memulainya. Pada saat itu bekas jajahan Belgia itu sedang terdai perang saudara.

Sama halnya dengan apa yang dialami PBB, mereka dipaksa untuk meninggalkan karya misi. Namun ia dan 3 saudaranya memutuskan untuk tetap mejalankan misi di Negara tersebut, meskipun kematian harus diterima. Mereka melaksakan misi dengan bersembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah tempat tinggal. Mereka harus terus bergerak dan menghindari kejaran dari para pemberontak yang menamai diri sebagai “samba-guerrillas”, yang berusaha membunuh mereka.

Selama masa ini mereka menjadi buronan, tinggal berpindah-pindah, sering tidak makan, menahan rasa dingin dan guyuran hujan lebat kerap sudah bersahabat dengan mereka. Bukan hanya itu saja, merekapun mengalami rasa sedih yang mendalam dan ketakutan kalau-kalau ditangkap dan dibunuh.

Pada tanggal 21 November 1964 Spoto menulis dalam buku harian: “hari ini adalah hari jadi tarekat kita, hari kenangan akan profesi. Di tempat persembunyian dan dalam pengejaran kami memperbaharui ikrar kebiaraan kami – di hadapan salib Tuhan, sumber keberanian dan kekuatan kami di tengah keadaan yang serba sulit”.

Fransesco ditangkap pada tanggal 11 Desember 1964. Saat itu ia menyuruh 3 saudara untuk lari bersembunyi dan membiarkan dirinya saja yang ditemukan untuk ditangakap. “Aku, Fransesco Spoto seorang Nasionalis Italia”, ungkapnya pada para pemberontak. “Seketika terdengar desingan peluru yang menandakan bapa jenderal, Spoto telah dibunuh,” jelas 3 saudara yang tidak jauh dari lokasi.

Saat mereka kembali ke tempat itu, “mereka meninggalkan bapa jenderal dalam keadaan yang menyedihkan – tampak bekas siksaan memenuhi sekujur tubunhnya. Bapa Fransesco saat itu hanya mampu mengerang kesakitan. “Jangan sia-siakan pengorbananku ini. Jika seseorang melukaimu, kamu harus memaafkannya. Sekalipun mereka yang membunuhku, janganlah engkauy membalas mereka demi aku”, pesan Fransesco kepada ketiga saudara yang menangis mengelilinginya.

Ia masih dapat bertahan hidup selama 16 hari dari nyeri sakit akbiat siksaan para pemberontak Simba. Pada 27 Desember 1964 ia meninggal dalam keadaan bahagia – memafkan para pemberontak yang telah mendera-siksa dirinya.. “Ia telah menjadi martir, mengorbankan hidupnya untuk keselamatan para saudaranya. Seorang pemimpin yang dan teladan bagaimana cara memberi arti hidup; memberi yang berharga dan memberikannya untuk orang yang lain," kenang Giuseppe Civiletto, Superior jenderal Congregation of Missionary Servants of Poor dalam siaran radio Vatican, saat penobatan Fransesco Spoto sebagai Beato.

Catatan Pinggir

Fransesco Spoto lahir sebagai sulung dari 3 bersaudara. Ia menerima gelar Venerabilis pada tanggal 26 Juni 2006 oleh Paus Benediktus XVI. Dan Beatifikasi pada tanggal 21 April 2007 oleh Sri Paus Benediktus XVI di Palermo, Sicilia.