Komisi VII DPR: Dukung Pemerintah Layani Gugatan Arbitrase Freeport Indonesia

Komisi VII DPR: Dukung Pemerintah Layani Gugatan Arbitrase Freeport Indonesia




Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi menilai PT Freeport Indonesia (PTFI) tidak boleh tetap berpegang pada kontrak perjanjian rasa Kontrak Karya (KK) yang pernah dibuat dengan pemerintah RI tahun 1991.
Padahal, pemerintahan Presiden Jokowi saat ini meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut mengakhiri perjanjian Kontrak Karya Tahun 1991 untuk memberi kesempatan kepada PTFI memperoleh izin operasi dan persetujuan ekspor konsentrat.
Menurut Kurtubi, sebaiknya PTFI menerima dan mengubah KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Pemerintah  juga diharapkan tetap jangan mengikuti keinginan PTFI untuk memberlakukan pajak yang bersifat mengikuti kontrak sebelumnya (nail down) dalam proses perubahan statusnya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Terimalah dan memakai IUPK termasuk masalah fiskal prevaling, tidak lagi naildown dan divestasi 51%," ujar Politikus NasDem ini kepada Tribunnews.com, Senin (20/2/2017).
Sebagaimana diketahui PTFI adalah pemegang KK hingga tahun 2021.
Memang, pemegang KK posisinya sangat kuat karena yang berkontrak adalah Pemerintah dengan PTFI ( B to G), isi kontrak baru berubah jika disetujui oleh kedua belah pihak, demikian Kurtubi menjelaskan.
Selain itu juga memang KK masih diakui oleh Undang-undang (UU) Minerba Nomor 4 Tahun 2009.
Tapi sebagai negara yang berdaulat atas Sumber Daya Alam (SDA), UU dan regulasi yang menyangkut minerba di Indonesia berlaku bagi seluruh rakyat dan perusahaan yang ada di Indonesia.
Lebih lanjut Kurtubi menjelaskan, dalam UU Minerba tercantum pemegang KK diwajibkan melakukan pemurnian di dalam negeri.
Namun kewajiban ini tidak ditaati oleh PTFI meski diberikan waktu 5 tahun dan ditambah ijin relaksasi.
Namun jikalau PTFI tetap tidak menerima dan membawa persoalan ini ke meja arbitrase, Kurtubi mendukung pemerintah melayani gugatan tersebut.
"Jika PTFI ngotot ke arbitrase, pemerintah segera menyiapkan ahli-ahli hukum yang mengerti masalah pertambangan," tegas Kurtubi.
Senada dengan itu Ketua Panja Minerba Komisi VII DPR RI, Syaikhul Islam Ali mendesak agar perusahaan tambang tembaga raksasa PT Freeport Indonesia (PTFI)  tidak akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak dan tidak membawa kasus itu ke Arbitrase Internasional.

“Saya selaku Fungsionaris DPP PKB dengan tegas menolak cara-cara Nekolim (Neo-kolonialisme dan imperialisme) yang digunakan oleh PTFI tersebut,” tegas Wakil Bendahara Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu kepada Tribunnews.com, Senin (20/2/2017).

Polemik perpanjangan izin operasi PTFI kembali memanas akhir-akhir ini ketika menolak perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Petambangan Khusus (IUPK).

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI ini menilai rencana Arbitrase hanya akan melunturkan hubungan antara Pemerintah dengan PTFI.

“Saya menilai rencana Arbitrase tersebut semakin mengesankan ketidaksaling-percayaan antara PTFI dengan Pemerintah RI,” ujar Politikus Muda 
PKB.

Namun jika langkah itu yang ditempuh PTFI tegas Syaikhul, PKB akan mendukung langkah Pemerintah jika harus berhadapan dengan PTFI dalam Arbitrase Internasional.

“PKB berpandangan jika aksi Arbitrase tetap akan dilakukan oleh PTFI, maka Kami berkomitmen untuk mendukung penuh Pemerintah," tegas Ketua Panja Minerba ini. 

"Kita harus tunjukkan bahwa bangsa dan negara ini punya kedaulatan yang tidak bisa ditawar-tawar, termasuk terhadap PTFI,” tegas Syaikhul Islam. 

Pimpinan Komisi VII DPR RI yang mengurusi bidang pertambangan juga mendukung upaya pemerintah Joko Widodo (Jokowi) menyikapi polemik dengan PT Freeport Indonesia (PTFI).

Termasuk mendukung sikap tegas Pemerintah menghadapi ancam PTFI akan mengajukan arbitrase jika negosiasi dengan Pemerintah RI gagal menemui kata sepakat soal perpanjanga status Kontrak Karya (KK).

"Dari berbagai pandangan yang berkembang seluruhnya ingin keberadaan PTFI harus memberikan manfaat optimal bagi negara dan rakyat terkhusus masyarakat Papua," tegas  Ketua Komisi VII DPR-RI Gus Irawan Pasaribu kepada Tribunnews.com, Senin (20/2/2017).

Oleh karenya sikap pemerintah Politikus Gerindra ini tegaskan, didukung Komisi VII DPR RI untuk menegakkan aturan perundang-undangan dan segala turunannya. 

Karena itu menurutnya semua pihak termasuk PTDI harus menghormati aturan perundangan yang ada di Indonesia. 

"Bahwa bila terjadi perselisihan memang jalannya adalah arbitrase. Itu konsekuensi. Meskipun kita berharap PT FI menyepakati opsi yang ditawarkan pemerintah," ujar Gus Irawan Pasaribu. 

Kata Freeport

PTFI menyatakan akan tetap menggunakan kontrak perjanjian rasa Kontrak Karya (KK) yang pernah dibuat dengan Pemerintah RI tahun 1991.

Padahal, Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini meminta perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut mengakhiri perjanjian Kontrak Karya Tahun 1991, demi memberi kesempatan kepada PTFI memperoleh izin operasi dan persetujuan ekspor konsentrat.

Presiden dan CEO Freeport-McMoran Inc, Richard C Adkerson mengatakan, PTFI tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan oleh KK sebagai dasar dari kestabilan dan perlindungan jangka panjang bagi perusahaan, para pekerja dan pemegang saham.

"Kepastian hukum dan fiskal sangat penting bagi PTFI untuk melakukan investasi modal skala besar jangka panjang yang diperlukan untuk mengembangkan cadangan perusahaan di lokasi operasi," ujar Richard, Jakarta, Senin (20/2/2017).

Menurut Richard, PTFI berkomitmen mengubah KK menjadi ke ijin usaha pertambangan khusus (IUPK) pada saat pemerintah dan perusahaan menandatangani perjanjian investasi, sebagaimana di atur dalam KK.

"Ekspor akan diijinkan dan kontrak karya tetap berlaku sebelum ditandanganinya perjanjian investasi, namun peraturan-peraturan pemerintah saat ini mewajibkan kontrak karya diakhiri untuk memperoleh ijin ekspor, ini tidak dapat kami terima," tutur Richard.

Lebih lanjut dia mengatakan, karena perusahaan tidak dapat melakukan ekspor tanpa mengakhiri KK, maka akan terjadi konsekunesi yang tidak menguntungkan bagi semua pemangku kepentingan, seperti penangguhan investasi modal, pengurangan pembelian barang dan jasa domestik, serta pengurangan pekerja.

"Ini kami terpaksa menyesuaikan pengeluaran-pengeluaran kegiatan kami sesuai dengan pembatasan produksi tersebut," ujarnya. (*)

Pernah dimuat di Tribunnews.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

siapa yg tertua antara Lubis dgn Pasaribu?/

Siapa itu Naimarata???

Mengenal Asal Muasal Naimarata