Panorama Batak dan Budayanya (2): Bagas Atau Jabu

Panorama Batak dan Budayanya (2) 

* Bagas Atau Jabu



Bagas atau jabu dapat diterjemahkan dengan rumah. Bagas atau jabu memiliki makna tertentu—bukan sekedar sebagai tempat tinggal. Namun lebih dari itu, bagas atau jabu dalam budaya Batak bermakna sebagai sumber adat dan sumber pendidikan. Oleh karenanya bagas atau jabu bagi orang Batak merupakan tempat pendidikan dasar—meliputi aneka aspek kehidupan dalam masyarakat dan peradatan.

Bagas Batak Toba merupakan kependekan dari “ririt di uhum manotori di Adat”. Artinya sumber hukum dan adat(bapak E.W.P. Tambunan, mantan Gubernur Sumut). Di sinilah letak fungsional bagas bagi orang batak sebagai tempat pendidikan dasar dan awal.

3 Bagian Bagas


Menarik bahwa bagas orang batak toba terdiri atas tiga bagian. Pembagian ini merupakan gambaran dari pembagian mikrokosmos.
  1. 1. Bagian pertama disebut “Bara”, bagian kolong rumah. Bagian ini kerap dijadikan sebagai tempat beradanya hewan peliharaan.

  2. 2. Bagian kedua adalah “bagas”, bagian tengah (dalam) rumah berlantaikan papan dan menjadi tempat berdiamnya manusia.

  3. 3. Bagian ketiga disebut “Bonggar”, ruang atas rumah. Pada bagian atas rumah tradisional batak ini biasanya sebagai tempat penyimpanan aneka barang yang dikategorikan keramat, seperti gondang dan tempat menyimpan atau beradanya kerangka (holi-holi) keluarga yang sudah meninggal dunia.

Ornamen Bagas


Dapat dilihat pada rumah Batak aneka ukiran dan gambar (lukisan) khas motif Batak Toba. Kesemua itu bukan sekedar ormanem tanpa makna.

1. Bagian muka


Pada bagian muka rumah terdapat ornamen ukiran yang disebut “gorga”. Terdapat varian gorga yang sangat indah. Semua berhubungan dengan nilai-nilai spiritual. Seperti, “gorga patung ulu ni horbo martanduk”. Ini menunjukkan suatu pengharapan akan “habaoaon”, yaitu “harajaon”—berarti tanggung jawab. Atau “gorga tarus” (buah dada perempuan) menunjuk pada pengharapan akan “soripada hagoluan”, kehidupan yang bersumber dari ibu.

Dari beberapa contoh itu, dapat dikatakan bahwa rumah Batak tidak hanya sekedar bangunan tempat tinggal tempat semua penghuninya berdiam. Nilai spiritual sangat menjadi warna. Cukup dengan melihat bentuk gorga pada suatu rumah, maka akan dapat diketahui maksud dan tujuan yang menjadi hasrat pengharapan sang pendiri rumah.

2. Bagian dalam rumah


Masuk ke bagian dalam, langsung dapat dilihat 4 bagian rumah. Ini dibagi berdasarkan fungsi kekerabatan.
  1. a. Bagian belakang sudut sebelah kanan
    Bagian ini disebut sebagai “jabu bona”. Di sinilah orang tua berdiam.

  2. b. Bagian tengah
    Bagian ini disebut dengan “jabu hombang”. Pada bagian ini dikhususkan sebagai tempat barang=barang “homitan” atau barang-barang warisan.

  3. c. Bagian muka sebelah kiri
    Bagian ini disebut dengan “jabu suhut”. Dari arti ini saja dapat diketahui bahwa pihak yang berhak menempati bagian ini adalah anak sulung atau si bungsu.

  4. d. Bagian muka sudut sebelah kanan
    Bagian ini disebut “jabu sading”. Pada bagian ini pihak yang berhak mediaminya adalah anak kedua dan seterusnya.

Dimana anak boru tinggal dalam rumah batak? Khusus untuk anak boru terdapat “jabu tamparpiring”. Tempat ini terdapat di belakang sudut kanan sebelah dalam rumah.

Warna Gorga


Aneka ukiran atau gorga yang indah nan mempesona dibarengi dengan warna khas batak. Terdapat 3 warna gorga batak, yakni hitam, putih dan merah. Ketiga warna ini bukan sekedar warna yang dipilih berdasarkan seleran dan bernilai seni saja. Warna-warna ini mengandung nilai spiritual yakni pengharapan orang batak akan
“Mula Jadi Na Bolon”—Sang sumber kebijaksanaan, kesucian dan kekuatan.

Dari pemaparan ini dapat terlihat adanya ikatan kekerabatan yang kuat dan mendasar dalam rumah batak. Unsur primordial sangatlah tegas terlukis dalam hal itu. Terutama berkaitan moral dan sopan santun. Kokohnya memegang unsur primordial ini, membuat setiap penghuni rumah tidak akan berani tidur pada “jabu” yang bukan haknya.

Apabila terdapat pihak yang melanggar atau terdapat pihak yang tidur pada jabu bukan menjadi haknya, ia dianggap melanggar hyukum moral kekerabatan. Selanjutnya ia akan dihukum dengan menerima stigma “na so maradat”. Hukuman ini sangatlah menyakitkan dan amat memalukan. Karena bagi orang batak sebutan ini adalah hukuman yang lebih berat dibanding hukuman fisik. Lebih baik dikatakan “na so mar-Tuhan” daripada dikatakan “na so maradat”.

Bahan Bacaan.


  1. M.W. Hutagalung, Tarombo Marga Ni Suku Batak, Medan, Fa. Sihardo, 1967.

  2. J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta.

  3. T.E. Taringan dan E. Tambunan (ed.), Struktur dan organisasi Masyarakat Batak Toba, Nusa Indah, Ende-Flores, 1987.

  4. M.A. Marbun dan I.M.T. Hutagalung, Kamus Budaya Batak Toba, Balai Pustaka, Jakarta, 1987.

  5. Drs. DJ. Gultom Rajamarpodng, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, armanda, Medan, 1992.

  6. Payung Bangun, “Kebudayaan Batak” dalam Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1984.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

siapa yg tertua antara Lubis dgn Pasaribu?/

Siapa itu Naimarata???

Mengenal Asal Muasal Naimarata